Dikutip dari milis PADK, diunggah olah Kak Paulus Tjakrawan. Saya cuman copas saja, mudah2an ada manfaatnya.
Untuk menyegarkan ingatan kita semua, saya salin kan tulisan Dr Daud
Yusuf yang pernah menjadi Menteri Pendidikan.
Di Sanalah Aku Berdiri, Jadi Pandu Ibuku
Oleh : Daoed Joesoef
Seragam pramuka sudah menjadi bagian dari aneka ragam pakaian yang
mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Maka bagi rakyat biasa,
kepramukaan bukan lagi merupakan hal aneh yang perlu dipertanyakan,
walaupun pengetahuan mereka tentang hakikat kepramukaan yang
dilambangkan oleh pakaian seragam ini minim sekali.
Masalah kepramukaan belakangan ini menjadi bahan yang ramai
dibicarakan di media bukan karena pemahaman umum yang dangkal mengenai
hakikat gerakan remaja ini. Tetapi berhubung beberapa anggota DPR
mengadakan studi banding ke berbagai negara dalam rangka pembuatan
undang-undang kepramukaan.
Perbuatan ini pantas diributkan dan dikritik. Mereka sebenarnya cukup mempelajari sejarah perkembangan
kepramukaan di sini sejak di zaman penjajahan Belanda, Jepang dan
kemerdekaan, termasuk sebab mengapa namanya berubah dari “kepanduan”
menjadi “kepramukaan”.
Di zaman kolonial, Belanda menamakan kepramukaan “padvinderij”.
Anggotanya disebut “padvinder”, yang berarti “pencari jalan atau penemu
jejak”. Kaum terpelajar kita yang militan dan bervisi kemerdekaan,
menamakannya “kepanduan” dan anggotanya disebut “pandu”.
Bila ditelusuri kembali asal-usul dan tujuan kepanduan atau
padvinderij, dapat dikatakan bahwa ia dimulai dari seorang laki-laki,
sebuah buku dan suatu pulau. Laki-laki itu adalah Robert Baden Powell
of Gilwell yang ketika itu sebagai inspektur jenderal dari kavaleri
tentara Kerajaan Inggris. Buku karyanya itu diberi judul “Scouting for
Boys”. Pulau itu adalah “Brownsea Island” di daerah Poole Harbour,
Dorsetshire. Di pulau inilah laki-laki tersebut menerapkan dan menguji
coba semua idenya mengenai pembinaan remaja putera seperti yang
ditulisnya dalam buku itu dan yang kemudian dijadikan dasar pembentukan
kepanduan putera (Boy Scouts) di tahun 1908.
Inti dari idenya itu adalah membantu remaja putera untuk mampu
mengembangkan inisiatif dan pengandalan pada diri sendiri (self-
dependence), untuk memupuk kegairahan membantu orang lain dan sekaligus
melenyapkan kebiasaan memikirkan (kepentingan) diri sendiri, untuk
membina rasa kasih sayang dan persaudaraan di antara bangsa-bangsa.
Latihan-latihan kepanduan ini merupakan pelengkap bagi pendidikan
sehari-hari dari anak yang bersangkutan, baik pendidikan keluarga di
rumah maupun pendidikan formal di sekolah, yang sebagai keseluruhan
akan membiasakannya dengan berbagai hakikat kewarganegaraan yang
terpuji.
Namun dan mungkin yang terpenting dari semua ini, untuk
diterima menjadi pandu, anak yang bersangkutan harus berjanji, demi
kehormatan dirinya, untuk berusaha sungguh-sungguh menunaikan
kewajibannya terhadap Tuhan serta negerinya, untuk setiap waktu
menolong orang lain dan untuk tunduk pada tata hukum kepanduan yang
dalam dirinya merupakan suatu kode keksatriaan yang begitu sederhana
untuk mudah dipahami oleh para remaja, semisal antara lain, berhenti
berjalan dan bersikap memberi hormat bila sedang berpapasan dengan
rombongan jenazah siapapun dan beragama apa saja.
Mengingat makna positif pendidikan yang digerakkan oleh kepanduan bagi
pembentukan watak dan karakter anak, tokoh-tokoh nasional dan pejuang
kemerdekaan serta intelektual pencerah kita, di zaman penjajahan dan
penindasan Belanda sudah mengorganisir berbagai gerakan kepanduan.
Golongan Muhammadiyah mendirikan “Hizbul Wathan minal Iman” (HW).
Golongan nasionalis membentuk “Kepanduan Bangsa Indonesia” (KBI). Ada
pula “Surya Wirawan”, sebuah gerakan kepemudaan militan yang secara
organisatoris independen tetapi secara idiil terkait dengan Partai
Indonesia Raya (Parindra).
Para tokoh pendiri dan penggerak KBI malah sudah mampu berpikir
progresif dan mengambil langkah kemajuan lebih dahulu. Mereka menerima
anak perempuan menjadi anggota kepanduan yang setara dengan anak laki-
laki, suatu hal yang bangsa Inggris dan Eropa lainnya belum bersedia
melakukannya ketika itu.
Kalau gerakan kepanduan diperlukan sebagai bagian dari keseluruhan
proses pendidikan, ia bersifat pendidikan di luar sekolah (non formal).
Berhubung dengan itu dalam dirinya ia merupakan satu unsur penting dari
ide pendidikan seumur hidup. Sedangkan pendidikan seumur hidup adalah
pendidikan sejak rahim ibu hingga ke liang kubur. Bila manusia
seharusnya sudah dididik sejak dalam kandungan ibunya, maka orang
pertama dan terutama yang harus mendidiknya adalah tidak lain daripada
ibunya sendiri, yaitu perempuan yang mengandungnya. Maka itu wajar
sekali bila remaja puteri diberi kesempatan sepenuhnya mengikuti proses
pendidikan baik formal maupun non formal, yang bertujuan menyiapkan
dirinya kelak menjadi seorang ibu (perempuan) yang baik, berwatak dan
bertanggung jawab. Sedangkan berbagai program dan latihan kepanduan,
sebagai pendidikan non formal, memang banyak memberikan kemungkinan
tersebut. Jadi KBI, selaku gerakan remaja progresif, tidak membatasi
keanggotaannya pada remaja putera belaka tetapi terbuka pula bagi
remaja puteri.
Selain pandangan progresif pikiran kritis para tokoh pendiri KBI
mendeteksi pula adanya kelemahan penting yang inheren dengan konsep
sistem kepanduan dari Baden Powell. Sistem tersebut menuntut setiap
calon anggotanya berjanji untuk mengabdi pada negerinya. Secara
implisit janji ini didasarkan pada asumsi bahwa negerinya sudah mereka
dan bangsanya yang diwadahi oleh negeri itu sudah terbentuk. Bila
demikian, yang diperlukan hanyalah warga yang berwatak dan mempunyai
kesadaran kehormatan yang sudah jelas struktur, corak dan ideologi
nasionalnya.
Selama Indonesia belum merdeka asumsi implisit itu tentu tidak berlaku
bagi kepanduan di negeri yang masih dijajah seperti kita. Bagi kita
gerakan kepanduan bukan hendak menanamkan kesadaran anak melayani
kepentingan negeri jajahan atau negeri penjajah tetapi terutama untuk
mengembangkan semangat memerdekakan negeri (tanah air) dan pembentukan
bangsa (nation building) di kalangan remaja kita. Di tahap ini pandu
perlu disadarkan bahwa dirinya adalah perintis jalan kemerdekaan dan
sekaligus memandu rakyat membebaskan diri dari belenggu penjajahan,
menjadi tumpuan dan harapan Ibu Pertiwi sebagai perlambang dari bangsa
(Indonesia) yang sedang dikukuhkan pembentukannya di bumi (tanah air)
yang sedang diperjuangkan kemerdekaannya.
Maka bukan kebetulan kalau seniman-pejuang Wage Rudolf Supratman
memasukkan istilah “pandu” ke dalam lagu “Indonesia Raya” yang khusus
digubahnya sebagai lagu perjuangan dalam rangka Kongres Pemuda bulan
Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Dalam gubahannya itu dinyatakannya
“…Indonesia tanah airku/Tanah tumpah darahku/Di sanalah aku
berdiri/Jadi pandu ibuku…”
Dia juga mengubah “Mars Pandu Indonesia” dan lalu khusus menciptakan
“Mars Kepanduan Bangsa Indonesia”, yaitu kepanduan nasional yang sudah
memakai kacu berwarna merah-putih sebagai bagian integral dari
seragamnya, “Mars Surya Wirawan” dan lagu “Ibu Kita Kartini”.
Justru karena menyadari makna yang positif dari gerakan kepanduan bagi
kesadaran berbangsa dan jiwa kemerdekaan, pemerintahan pendudukan
Jepang yang berhasil mengusir Belanda dari bumi Indonesia, membubarkan
semua organisasi kepanduan yang ada ketika itu. Sebagai gantinya ia
membentuk organisasi para-militer menurut selera kolonial dari
militerisme Dai Nippon.
Di Zaman Merdeka
Kemerdekaan Tanah Air ternyata tidak dengan sendirinya meratakan jalan
bagi usaha pembentukan bangsa, lebih-lebih bagi konvergensi Tanah Air
Fisik, Tanah Air Formal dan Tanah Air Mental. Kelancaran usaha tersebut
terhambat oleh kemajemukan di berbagai bidang kehidupan yang secara
alami mewarnai negeri kita. Gerakan kepanduan sebenarnya dapat berbuat
banyak bagi kemantapan pembentukan bangsa dan konvergensi ketiga jenis
Tanah Air tadi. Namun kenyataannya ada ormas dan parpol tertentu yang
menjadikan kepanduan sebagai ajang pembibitan benih ideologinya masing-
masing demi kepentingan ormas dan parpol yang bersangkutan.
Akibatnya, gerakan kepanduan di tahun lima puluhan tidak hanya tidak
mampu melaksanakan misi kepanduan seperti yang dipesankan oleh lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Ia bahkan menjadi begitu lemah untuk dapat
melaksanakan misi aslinya tersendiri, yaitu sebagai sarana pendidikan
non formal ke arah penguasaan kesigapan, ketangkasan dan keterampilan
seperti yang dicita-citakan oleh “boy scouting”.
Untuk mencegah kekacauan dan penyalahgunaan politis dari gerakan
kepanduan, Pemerintah membubarkan semua organisasi kepanduan dan
membentuk gerakan Pramuka sebagai gantinya. Dasar formal pembentukannya
adalah Keppres No 238 tangal 20 Mei 1961. Di situ dinyatakan bahwa
Pramuka adalah satu-satunya badan yang diperbolehkan menyelenggarakan
pendidikan kepanduan. Anggaran dasarnya menyebut bahwa tujuan Gerakan
Pramuka adalah, antara lain, membantu Pemerintah dan masyarakat dalam
melaksanakan pendidikan anak-anak dan pemuda, yaitu pendidikan di luar
lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah.
Penulis adalah alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-
Sorbonne
Untuk menyegarkan ingatan kita semua, saya salin kan tulisan Dr Daud
Yusuf yang pernah menjadi Menteri Pendidikan.
Di Sanalah Aku Berdiri, Jadi Pandu Ibuku
Oleh : Daoed Joesoef
Seragam pramuka sudah menjadi bagian dari aneka ragam pakaian yang
mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Maka bagi rakyat biasa,
kepramukaan bukan lagi merupakan hal aneh yang perlu dipertanyakan,
walaupun pengetahuan mereka tentang hakikat kepramukaan yang
dilambangkan oleh pakaian seragam ini minim sekali.
Masalah kepramukaan belakangan ini menjadi bahan yang ramai
dibicarakan di media bukan karena pemahaman umum yang dangkal mengenai
hakikat gerakan remaja ini. Tetapi berhubung beberapa anggota DPR
mengadakan studi banding ke berbagai negara dalam rangka pembuatan
undang-undang kepramukaan.
Perbuatan ini pantas diributkan dan dikritik. Mereka sebenarnya cukup mempelajari sejarah perkembangan
kepramukaan di sini sejak di zaman penjajahan Belanda, Jepang dan
kemerdekaan, termasuk sebab mengapa namanya berubah dari “kepanduan”
menjadi “kepramukaan”.
Di zaman kolonial, Belanda menamakan kepramukaan “padvinderij”.
Anggotanya disebut “padvinder”, yang berarti “pencari jalan atau penemu
jejak”. Kaum terpelajar kita yang militan dan bervisi kemerdekaan,
menamakannya “kepanduan” dan anggotanya disebut “pandu”.
Bila ditelusuri kembali asal-usul dan tujuan kepanduan atau
padvinderij, dapat dikatakan bahwa ia dimulai dari seorang laki-laki,
sebuah buku dan suatu pulau. Laki-laki itu adalah Robert Baden Powell
of Gilwell yang ketika itu sebagai inspektur jenderal dari kavaleri
tentara Kerajaan Inggris. Buku karyanya itu diberi judul “Scouting for
Boys”. Pulau itu adalah “Brownsea Island” di daerah Poole Harbour,
Dorsetshire. Di pulau inilah laki-laki tersebut menerapkan dan menguji
coba semua idenya mengenai pembinaan remaja putera seperti yang
ditulisnya dalam buku itu dan yang kemudian dijadikan dasar pembentukan
kepanduan putera (Boy Scouts) di tahun 1908.
Inti dari idenya itu adalah membantu remaja putera untuk mampu
mengembangkan inisiatif dan pengandalan pada diri sendiri (self-
dependence), untuk memupuk kegairahan membantu orang lain dan sekaligus
melenyapkan kebiasaan memikirkan (kepentingan) diri sendiri, untuk
membina rasa kasih sayang dan persaudaraan di antara bangsa-bangsa.
Latihan-latihan kepanduan ini merupakan pelengkap bagi pendidikan
sehari-hari dari anak yang bersangkutan, baik pendidikan keluarga di
rumah maupun pendidikan formal di sekolah, yang sebagai keseluruhan
akan membiasakannya dengan berbagai hakikat kewarganegaraan yang
terpuji.
Namun dan mungkin yang terpenting dari semua ini, untuk
diterima menjadi pandu, anak yang bersangkutan harus berjanji, demi
kehormatan dirinya, untuk berusaha sungguh-sungguh menunaikan
kewajibannya terhadap Tuhan serta negerinya, untuk setiap waktu
menolong orang lain dan untuk tunduk pada tata hukum kepanduan yang
dalam dirinya merupakan suatu kode keksatriaan yang begitu sederhana
untuk mudah dipahami oleh para remaja, semisal antara lain, berhenti
berjalan dan bersikap memberi hormat bila sedang berpapasan dengan
rombongan jenazah siapapun dan beragama apa saja.
Mengingat makna positif pendidikan yang digerakkan oleh kepanduan bagi
pembentukan watak dan karakter anak, tokoh-tokoh nasional dan pejuang
kemerdekaan serta intelektual pencerah kita, di zaman penjajahan dan
penindasan Belanda sudah mengorganisir berbagai gerakan kepanduan.
Golongan Muhammadiyah mendirikan “Hizbul Wathan minal Iman” (HW).
Golongan nasionalis membentuk “Kepanduan Bangsa Indonesia” (KBI). Ada
pula “Surya Wirawan”, sebuah gerakan kepemudaan militan yang secara
organisatoris independen tetapi secara idiil terkait dengan Partai
Indonesia Raya (Parindra).
Para tokoh pendiri dan penggerak KBI malah sudah mampu berpikir
progresif dan mengambil langkah kemajuan lebih dahulu. Mereka menerima
anak perempuan menjadi anggota kepanduan yang setara dengan anak laki-
laki, suatu hal yang bangsa Inggris dan Eropa lainnya belum bersedia
melakukannya ketika itu.
Kalau gerakan kepanduan diperlukan sebagai bagian dari keseluruhan
proses pendidikan, ia bersifat pendidikan di luar sekolah (non formal).
Berhubung dengan itu dalam dirinya ia merupakan satu unsur penting dari
ide pendidikan seumur hidup. Sedangkan pendidikan seumur hidup adalah
pendidikan sejak rahim ibu hingga ke liang kubur. Bila manusia
seharusnya sudah dididik sejak dalam kandungan ibunya, maka orang
pertama dan terutama yang harus mendidiknya adalah tidak lain daripada
ibunya sendiri, yaitu perempuan yang mengandungnya. Maka itu wajar
sekali bila remaja puteri diberi kesempatan sepenuhnya mengikuti proses
pendidikan baik formal maupun non formal, yang bertujuan menyiapkan
dirinya kelak menjadi seorang ibu (perempuan) yang baik, berwatak dan
bertanggung jawab. Sedangkan berbagai program dan latihan kepanduan,
sebagai pendidikan non formal, memang banyak memberikan kemungkinan
tersebut. Jadi KBI, selaku gerakan remaja progresif, tidak membatasi
keanggotaannya pada remaja putera belaka tetapi terbuka pula bagi
remaja puteri.
Selain pandangan progresif pikiran kritis para tokoh pendiri KBI
mendeteksi pula adanya kelemahan penting yang inheren dengan konsep
sistem kepanduan dari Baden Powell. Sistem tersebut menuntut setiap
calon anggotanya berjanji untuk mengabdi pada negerinya. Secara
implisit janji ini didasarkan pada asumsi bahwa negerinya sudah mereka
dan bangsanya yang diwadahi oleh negeri itu sudah terbentuk. Bila
demikian, yang diperlukan hanyalah warga yang berwatak dan mempunyai
kesadaran kehormatan yang sudah jelas struktur, corak dan ideologi
nasionalnya.
Selama Indonesia belum merdeka asumsi implisit itu tentu tidak berlaku
bagi kepanduan di negeri yang masih dijajah seperti kita. Bagi kita
gerakan kepanduan bukan hendak menanamkan kesadaran anak melayani
kepentingan negeri jajahan atau negeri penjajah tetapi terutama untuk
mengembangkan semangat memerdekakan negeri (tanah air) dan pembentukan
bangsa (nation building) di kalangan remaja kita. Di tahap ini pandu
perlu disadarkan bahwa dirinya adalah perintis jalan kemerdekaan dan
sekaligus memandu rakyat membebaskan diri dari belenggu penjajahan,
menjadi tumpuan dan harapan Ibu Pertiwi sebagai perlambang dari bangsa
(Indonesia) yang sedang dikukuhkan pembentukannya di bumi (tanah air)
yang sedang diperjuangkan kemerdekaannya.
Maka bukan kebetulan kalau seniman-pejuang Wage Rudolf Supratman
memasukkan istilah “pandu” ke dalam lagu “Indonesia Raya” yang khusus
digubahnya sebagai lagu perjuangan dalam rangka Kongres Pemuda bulan
Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Dalam gubahannya itu dinyatakannya
“…Indonesia tanah airku/Tanah tumpah darahku/Di sanalah aku
berdiri/Jadi pandu ibuku…”
Dia juga mengubah “Mars Pandu Indonesia” dan lalu khusus menciptakan
“Mars Kepanduan Bangsa Indonesia”, yaitu kepanduan nasional yang sudah
memakai kacu berwarna merah-putih sebagai bagian integral dari
seragamnya, “Mars Surya Wirawan” dan lagu “Ibu Kita Kartini”.
Justru karena menyadari makna yang positif dari gerakan kepanduan bagi
kesadaran berbangsa dan jiwa kemerdekaan, pemerintahan pendudukan
Jepang yang berhasil mengusir Belanda dari bumi Indonesia, membubarkan
semua organisasi kepanduan yang ada ketika itu. Sebagai gantinya ia
membentuk organisasi para-militer menurut selera kolonial dari
militerisme Dai Nippon.
Di Zaman Merdeka
Kemerdekaan Tanah Air ternyata tidak dengan sendirinya meratakan jalan
bagi usaha pembentukan bangsa, lebih-lebih bagi konvergensi Tanah Air
Fisik, Tanah Air Formal dan Tanah Air Mental. Kelancaran usaha tersebut
terhambat oleh kemajemukan di berbagai bidang kehidupan yang secara
alami mewarnai negeri kita. Gerakan kepanduan sebenarnya dapat berbuat
banyak bagi kemantapan pembentukan bangsa dan konvergensi ketiga jenis
Tanah Air tadi. Namun kenyataannya ada ormas dan parpol tertentu yang
menjadikan kepanduan sebagai ajang pembibitan benih ideologinya masing-
masing demi kepentingan ormas dan parpol yang bersangkutan.
Akibatnya, gerakan kepanduan di tahun lima puluhan tidak hanya tidak
mampu melaksanakan misi kepanduan seperti yang dipesankan oleh lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Ia bahkan menjadi begitu lemah untuk dapat
melaksanakan misi aslinya tersendiri, yaitu sebagai sarana pendidikan
non formal ke arah penguasaan kesigapan, ketangkasan dan keterampilan
seperti yang dicita-citakan oleh “boy scouting”.
Untuk mencegah kekacauan dan penyalahgunaan politis dari gerakan
kepanduan, Pemerintah membubarkan semua organisasi kepanduan dan
membentuk gerakan Pramuka sebagai gantinya. Dasar formal pembentukannya
adalah Keppres No 238 tangal 20 Mei 1961. Di situ dinyatakan bahwa
Pramuka adalah satu-satunya badan yang diperbolehkan menyelenggarakan
pendidikan kepanduan. Anggaran dasarnya menyebut bahwa tujuan Gerakan
Pramuka adalah, antara lain, membantu Pemerintah dan masyarakat dalam
melaksanakan pendidikan anak-anak dan pemuda, yaitu pendidikan di luar
lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah.
Penulis adalah alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-
Sorbonne